Senin, 22 Mei 2017

MAKALAH ZAMAN WEDA

HINDUISME
Periodesasi Sejarah Hinduisme Zaman Weda
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Hindu
Dosen Pengampu :
Ibu Siti Nadroh, MA
C:\Users\ACER E1\Downloads\logo uin.jpg
Disusun Oleh:
Syifaul Khusna (11150321000066)
Ikhwatun Muamalah  (11150321000046)


JURUSAN STUDI AGAMA - AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmaanirrohiim


Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW. Keluarga dan para sahabatnya Amiin.
Alhamdulillah pada kesempatan ini kami dari kelompok dua mata kuliah Hinduisme, telah menyelesaikan tugas ini untuk mendapatkan nilai dari dosen pada jurusan studi agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, walaupun dalam penyusunan tugas ini banyak sekali hambatan, tetapi dengan niat dan ketekadan kami akhirnya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini.
Selanjutnya kami  mengucapkan terima kasih atas bantuan saerta dukungan dalam penyelesaian tugas ini, ucapan terima kasih kepada dosen Ibu Siti Nadroh, MA. selaku pembimbing mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang sabar mengajari kami, kemudian kepada Allah SWT. Jualah kami berdoa semoga amal baik senantiasa mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin.
Wassalamu’alikum Warohmatullahi Wabarokatuh






BAB I
PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.
Agama Hindu berasal dari pencampuran bangsa Arya dan bangsa Dravida, dalam agama Hindu terdapat beberapa dewa-dewa yang dianggap penting bagi pemeluknya. Banyak praktek-praktek keagamaan di dalam agama Hindu yang bertujuan untuk menghormati para dewa. Agama Hindu juga mempunyai system kepercayaan bagi para pemeluknya.
  1. RUMUSAN MASALAH
  1. Sejarah Hinduisme (Pada Zaman Weda)
  2. Rta.
  3. Dewa-dewa
  4. Roh-Roh Jahat
  5. Korban
  6. Praktek Keagamaan



  1. TUJUAN
  1. Mengetahui bagaimana sejarah Hinduisme (Pada Zaman Weda)
  2. Mengetahui apa itu Rta
  3. Mengetahui beberapa dewa serta tugasnya
  4. Memahami bagaimana kepercayaan umat Hindu mengenai roh-roh jahat
  5. Memahami kepercayaan umat Hindu tentang korban
  6. Mengetahui praktek-praktek keagamaan





















BAB II
PEMBAHASAN


SEJARAH HINDUISME (ZAMAN WEDA)


  1. Periodisasi Sejarah Agama Hindu (Agama Weda)
           Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam. Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
           Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga timbulnya agama Budhha pada kira-kira tahun 500 SM.
Zaman ini dapat dibagi lagi menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman ini:
  • Zaman Weda purba atau zaman Weda Samhita, dimulai dari tahun 1500 SM hingga kira-kira tahun 1000 SM. Pada zaman ini bangsa Arya massih berada di Punyab, yaitu daerah Sungai Indus atau Sindhu. Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba.
  • Zaman Brahmana, kira-kira tahun 1000 SM hingga kira-kira tahun 750 SM. Pada zaman ini para imam, yaitu para Brahmana, sangat berkuasa dan menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya dibandingkan dengan kitab-kitab Weda Samhita. Sekarang penyesuaian diri dengan peradaban India purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.
  • Zaman Upanisad, tahun 750 SM hingga tahun 500 SM. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga.[1]


Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang  disebut Weda Samhita, yang berarti perkumpulan Weda.
Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra, yang kemudian disusun sebagaian puji-pujian oleh para resi tadi sebagai pernyataan rasa hatinya.
Unsure-unsur dasar agama Weda :
1.      Percaya dan takut kepada daya-daya kekuasaan
2.      Ritus untuk mempengaruhi daya-daya kekuasaan
3.      Kesadaran akan adanya tata tertib kosmos
4.       Kecenderungan kepada mistik
Sejak zaman dahulu orang memberi penghargaan yang istimewa terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi (bersemadi). Pengetahuan yang didapat orang dari meditasi, dianggap sesuatu yang lebih tinggi dari pada pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan diri dalam daya-daya kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang tajam tiliknya para rsi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia Dunia, hidup, dan rahasia-rahasia ritus persembahan.[2]
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda adalah napas Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang diwahyukan tadi adalah mantra-mantra.[3]


Sesudah dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu :
  1. Rg-Weda, berasal dari kata “Rig” yang berarti memuji kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para Dewa dalam bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam beberapa bait . Rg-Weda berisi mantra-mantra dalam bentuk puji-pujian, yang digunakan untuk mengundang para dewa, agar berkenan hadir pada upacara-upacara kurban yang akan diadakan bagi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan puji-pujian ini disebut Hort.
  2. Sama-Weda, hampir seluruh isinya diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu).imam atau pendeta yang menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban dipersembahkan.
  3. Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal, diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebutAswarya, yaitu pada saat ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para dewa, dengan maksud supaya kurban tadi dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa denagn rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa, dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
  4. Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah, seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan untuk menyembuhan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan diadakan di rumah.
Mula-mula kitab ini tidak diakui sebagai Kitab Suci, namun lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan rakyat terhadap kitab ini sangat kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil pendeta-pendeta dari golongan ini sebagai pendeta pribadinya.[4]

Dengan ringkas kita melihat di dalam agama Weda hal-hal seperti berikut :
  1. Agama Weda tidak dapat di pahami selain sebagai reaksi manusia terhadap pernyataan Allah, baik terhadap pernyataan di dalam karya Allah, maupun di dalam syariat hukum taurat yang tertulis di dalam hati manusia (Rm 1 dan 2). Tetapi itupun suatu reaksi, di mana kelainan manusia berusaha untuk menindas kebenaran. Agama Weda adalah suatu daya upaya manusia yang jatuh ke dalam dosa untuk menghindarkan diri dari hukum Allah.
  2. Di dalam agama Weda orang berdaya upaya untuk mendekati dewa-dewa melalui dua jalan : physis dan etis. Melalui garis physis yang ditentukan oleh pertentangan Indra – Vrta, dewa – sura, Arya – Dashu, kosmos – chaos. Dan orang berusaha juga mendekati dewa melalui garis rtik, yang ditetapkan oleh pertentangan : Waruna, penjaga “rta” – dosa manusia. Kedua aspek dewa itu tidak dilihat sebagai satu hal, tetapi keduanya selalu berlawanan. Indra dan Waruna berperang mati-matian. Dalam peperangan itu Indra menang, artinya bahwa garis etik harus kalah di dalam agama Weda.
  3. Kebimbangan terhadap pertanyaan haruskah dewa dipandang sebagai pribadi ataukah sebagai suatu daya kekuatan, tetap ada selama masa itu.
  4. Oleh karena Waruna terdesak ke samping agama Weda makin menggeser de dalam suasana egoisme. Agama menjadi suatu daya upaya untuk merebut daya-daya kekuatan yang tersimpan di dalam kosmos dengan persembahan dan mantera dan menggunakan daya-daya itu untuk kepentingan-kepentingan egoistis.
  5. Perkembangan agama Weda berlangsung melalui dua garis. Yang pertama adalah garis spekulasi falsafi (renunagan falsafi). Timbullah skeptisisme (kesangsian) terhadap dewa-dewa yang lama dan orang berbalik kepada suatu zzat ilahi yang universal dan mujarad (abstrak) sebagai zat segala zat. Inilah garis pantheistis (pantheisme ialah ajaran bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan) yang terutama kelihatan jelas di dalam berkas kesepuluh dari reg-Weda. Garis yang kedua ialah garis dekadensi (kemunduran) kepada magi. Tiap-tiap perbuatan persembahan dianggap sebagai berkekuatan magis. Orang brahmana menjadi ahli sihir. Hal ini terutama ternyata didalam ajur weda dan di dalam antharwa-weda.
  6. Dipandang dari sudut kepercayaan kita, maka kita hanya dapat mengkonstatir bahea di dalam agama weda manusia melarikan diri dari kekudusan Tuhan, manusia menundukan kemuliaan tuhan ke alam insani.Tuhan di samakan atau diidentifikasikan dengan daya kekuatan yang tinggal di dalam makhluk, atau di buat kabur menjadi suatu pengertian falsafi.  Dengan demikian ia dilukiskan sebagai dzat yang terdalam, inti segala yang ada.[5]


  1. RTA
Dalam agama Weda, tata tertib alam atau kosmos disebut Rta, dan dipandang sebagai pengejawantahan dari daya-daya kekuatan dan daya kekuasaan. Setiap daya kekuatan adalah dewa sehingga harus dijaga kelangsungannya, untuk itu diperlukan penyelenggaraan ritus. Dosa adalah menyalahi tata tertib ini, dan melanggar rta harus disusuli dengan melaksanakan ritus tertentu agar alam kembali pada keadannya semula. Sebagai tata tertib cosmos, rta memiliki mengertian etis dan tata alami sekaligus sehingga tidak ada perbedaan yang jelas antara  tata etis dan tata alami. Baik  keteraturan fenomena alam maupun keteraturan masyarakat adalah sama dan satu. Rta ini diyakini diciptaka oleh  Dewa Waruna yang sekaligus bertindak sebagai penjaganya. Hukumnya, tertibnya harus ditaati oleh manusia. Waruna akan tau bilamana terdapat pelanggaran karena waruna adalah dewa yang mengawasi seluruh dunia, menghukum orang yang berdosa dan memberi ampun orang yang bersalah yang dengan bersungguh-sungguh memohon ampun kepadanya. Waruna adalah dewa tertinggi dan penguasa Rta.[6]
  1. DEWA-DEWA


Dewa dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang penuh dengan keindahan.[7] Di dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah terhadap manusia dan menerima pujaan manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
           Kitab Rg-Weda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibeda-bedakan atas dewa-dewa langit, dewa-dewa angkasa, dan dewa-dewa bumi.

RG-WEDA

DEWA LANGIT
  1. Dewa Waruna
  2. Dewa Surya
  3. Dewa Wisnu
DEWA ANGKASA
  1. Dewa Indera
  2. Dewa Aghni
  3. Dewa Shoma
DEWA BUMI
  1. Dewa Aditya
  2. Dewa Putra Adtya
  3. Dewa Aswin Natasya
  4. Dewa Usas
  5. Dewa Rudra
  6. Dewa Parjanya
  7. Dewa Saraswati
  8. Dewa Prajapati
  9. Dewa Brahman
  10. Dewa Aspati


           Yang termasuk dewa-dewa langit di antaranya adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata dunia atau Rta. Karena karya Waruna inilah maka langit dan bumi dipisahkan, pelajaran matahari, bulan, dan bintang teratur, sungai-sungai mengalir dengan baik, musim-musim datang pada waktunya dan sebagainya. Selain itu Rta juga dipandang sebagai tata tertib susila. Sebagai pengawas rta, Waruna juga memberikan  hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum kepada yang jahat. Orang yang baik ialah orang yang mengikuti hukum Rta.[8]
           Dewa yang lain ialah Surya, yang digambarkan sedang berkereta ditarik oleh 7 ekor kuda. Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan sebagainya.
           Dewa Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada zaman ini belum memegang peranan yang penting. Tentang dewa ini hanya disebutkan, bahwa ia melangkahkan tiga langkah. Langkah yang ketiga itulah langkah yang tertinggi. Itulah sorga tempat kediaman para dewa-dewa.
           Yang termasuk dewa-dewa angkasa di antaranya adalah Indra, yang merupakan dewa terpenting. Seperempat kidung dalam Rg-Weda ditujukan kepadanya. Indra adalah Raja para dewa  ia adalah dewa hujan yang bersenjatakan petir, dewa langit pengumpul awan dan dewa kemenangan. Ia juga bernama Surapati (sebagai raja para dewa), Vrtahan (sebagai dewa hujan yang membunuh naga Vrta yang menyembunyikan air dalam gua selam musim kemarau). Indra sering diletuskan secara antropomorfis : mempunyai tubuh, tangan, kaki, bibir, rahang, dan jenggot. Indra diyakini sebagai dewa yang selalu melepaskan air yang member hidup yang kemudian mengalir kesamudra dan dalam perjalanannya selalu memperkaya dan mempersubur bumi.[9]
           Setelah Indra dewa yang terpenting adalah Agni yang dianggap sebagai perantara dewa dan manusia. Dewa inilah yang meneruskan puji-pujian dan kurban bakar kepada para dewa yang dimaksud, Agni pula yang mendatangkan para dewa ketempat-tempat sesaji dengan bunyi-bunyian dalam arti. Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu : untuk upacara harian (agnihotra) dan sampai saat ini masih terdapat dikalangan keluarga Pandit yang ortodoks ; api untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan purnama dan  api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur. Mengenai upacara-upacara masih ada lagi upacara yang dilakukan empat bulan sekali upacara lainnya adalah upacara pengangkatan Altar api yang disebut denganAgnicayana, biasanya dilakukan menggunakan sebongkah batu yang berbentuk seekor burung.[10]
           Selanjutnya dewa yang terpenting setelah agni adalah Soma, dewa minuman keras, yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut Soma pula. Soma adalah minuman para dewa. Dalam upacara korban Soma dituangkan sebagai persembahan kepada para dewa. Hal yang agak aneh ialah rasa hormat yang luar biasa bukannya ditujukan kepada objek kritus itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan Soma itu saja. Cairan sari tanaman Soma sangan memabukkan dan digunakan untuk memperdaya dewa, orang-orang yang memujanya meminum cairan ini. Karena minuman ini sangat memabukkan maka tentu akan mempegaruhi pandangan orang yang terlibat dalam upacara. Dalam berkembangan selanjuttnya Soma bukan hanya disamakan sebagai kekuatan saja, tetapi kemudian menjadi personifikasi dari bulan yang selanjutnya diidentikkan dengan dewa Waruna yang berkuasa di sorga. Bulan adalah tempat cairan soma yang dianggap sacral dan kebeningannya yang indah berkilau karena sinar sorga dianggap sebagai sari penting dari raja langit.
           Dewa penting setelah agni adalah Waruna atau Aditya, putra Adity, dewi kebaikan. Berkat kerja Waruna maka langit, matahari, bulan dan bintang dalam tata surya dapat bekerja dengan baik dan sebagaimana mestinya. Sungai-sungai mengalir dan musim silih berganti selaras dengan cosmos (alam) lain oleh karena itu dosa adalah menyalahi tata tertib cosmos, dan agar kembali normal perlu dilakukan sesembahan kurban dan sesaji.[11]
           Sesudah dewa Waruna, ada beberapa dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (dewa matahari), Wisnu, si kembarAswin atau Nasatya (dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas(dianggap sebagai dewa fajar), Merut (dewa taufan dan angin rebut), Rudra (dewa taufan dan petir), Parjanya (dewa hujan), dan Saraswati (dewa sungai yang kemudian dianggap sebagai dewi ilmu pengetahuan). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi kekuatan alam adalah dewa Prajapati (penguasa alam dan segala makhluk), Wiswakarman (dewa pencipta),Brhamanaspati atau  Braspati (dewa personifikasi pembuatan manusia alam sesaji), Widhatar(dewa guntur).
           Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu dianggap sebagai dewa tertinggi  yang memiliki segala kekuatan para dewa yang lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang memiliki kekuatan para dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaanhenoteistik (henoteisme). Max Miller juga menghindari istilah monoteisme atau politeismedalam ketuhanan agama Hindu. Ia menggunakan istilah “henoteisme” karena ada kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada tuhan tertentu dan utama yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan yang Lenoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteistik (kathenotheism) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan dan mengagungkan hanya satu dewa yang maha tinggi yang diperlakukan sebagai objek tunggal, akan tetapi dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
C. ROH-ROH JAHAT
Menurut kepercayaan weda kuno, selain para dewa dewa masih ada roh-roh jahat. Roh jahat terbagi menjadi dua macam;
  • Yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para dewa. Musuh indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta).
  • Roh jahat yang kurang kekuasaannya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan bintang.
Dalam kepercayaan agama weda ini arwah leluhur sangat penting kedudukannya. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunan nya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya preta segera sampai ke alam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah dewa Yama.[12]
D. KORBAN
Dalam memuliakan para leluhur, umat weda menyelenggarakan upacara korban. Selain dilakukan dengan harapan supaya para dewa melindungi manusia dari gangguan roh jahat, juga supaya para dewa memberikan kelancaran, kemurahan, ketenangan serta ketentraman. Tujuannya adalah terjaminnya tat tertib kosmos. Pelaksanaanya di pimpin oleh pendeta yang membujuk dan merayu para dewa untuk mengabulkan permohonan manusia.
Dua macam upacara korban yang penting ialah:
  • Korban manusia (purusa)
Sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik dalam kitab Rg-Weda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani korban untuk penciptaan
  • Sarwameda
Di mana manusia mengakui ke maha kuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.[13]


Selain itu juga ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan upacara yang disebut Aswameda. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. Ada pula upacara korban yang diselenggarakan di rumah-rumah atau di altar. Benda yang dipersembahkan biasanya adalah benda-benda yang disukai oleh manusia seperti susu; ghee dan kue-kue yang terbuat dari gandum atau beras. Kalau korban tersebut berupa binatang, maka daging korban tersebut tidak mereka makan. Menurut Robert D. Baird dan Alfred Bloom, korban binatang ini merupakan bukti korban manusia yang pasti diterima oleh para dewa
Dari segi penyelenggaraan, korban yang dilakukan hanya oleh seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan. Biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat diutamakan  biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah menyitir bait-bait yang terdapat dalam Rg-Weda. Pendeta Adwaryu juga penting karena dalam penyelenggaraan korban ini diperlukan  persiapan-persiapan yang cermat.
Di kalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban sebagai upacara sikluskehidupan. Di beberapa tempat, upacara tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh pemilik rumah selaku penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga mementingkan api.[14]
E. PRAKTEK KEAGAMAAN
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang pada zaman ini ialah kurban. Kurban-kurban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa, menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para leluhur.[15]
Pada hakikatnya kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa itu bersifat permohonan, yaitu mohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga kurban ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada. Dengan kurban itu mereka bermaksud untuk menggerakkan hati para dewa sehingga mereka berkenan mengabulkan permohonan yang diajukan bersamaan dengan kurban-kurban itu.[16]
Ada dua macam kurban :
  1. Kurban Tetap
Kurban ini dilakukakn tiap kali, pada waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan  musim dingin.
  1. Kurban Berkala
Ini dilakukan ketika yang dikorbanakan jika ada keperluan, umpanya korban soma, aswameda atau kurban kuda, rajasuya dan sebagainya.


Kecuali kurban-kurban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan sebagainya. Demikianlah seluruh kehidupan orang pada zaman itu diliputi oleh upacara-upacara keagamaan.[17]


BAB III
PENUTUP
        1. KESIMPULAN
Dari Paparan atau penjelasan di atas, maka dapat disimpulakan bahwa agama Weda dapat dikatakan sebagai alam. Maksudnya, di dalam mendekati dan menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam. Di dalam agama Weda, bahwa manusia berusaha menempatkan “daya-daya kekuasaan” itu di bawah kekuasaannya.
Keempat kitab dalam agama Weda adalah sebagai berikut:
  1. Rig-Weda, memuat puji-pujian kepada dewa-dewa.
  2. Sama-Weda, Weda ini adalah suatu bunga-rampai atau warnasari Rig-Weda, tetapi diberi tanda-tanda musik.
  3. Yajur-Weda, tidak hanya memuat mantera-mantera bagi persembahan-persembahan Soma, tetapi juga mantera-mantera bagi upacara kecil.
  4. Atharwa-Weda, para Atharwan adalah suatu golongan pendeta tersendiri. Dalam Weda ini kita jumpai lagi hymne-hymne yang harus dipakai pada persembahan Soma.
Rta adalah tata tertib alam atau kosmos yang ada di dalam agama Weda. Rta dipandang sebagai pengejawantahan dari daya-daya kekuatan dan daya kekuasaan. Dalam agama Weda, bahwa manusia berusaha menempatkan “daya-daya kekuasaan” itu di bawah kekuasaannya.
Isi Rig-Weda menyebutkan nama-nama dewa Indra, Waruna, Mitra dan Nasatya. Yang tertua ialah Dyaus (dewa langit), yang terpenting adalah dewa Indra dan dewa Agni (dewa api).
Roh-roh jahat dipercayai oleh umat Hindu sebagai musuh para dewa dan ada pula roh-roh pemakan bangkai. Menurutnya, orang meninggal jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan menderita.
Korban dipercayai untuk memuliakan para leluhur, para dewa dan dipercayai juga sebagai bentuk penciptaan dan lain sebagainya.

        1. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.





DAFTAR PUSTAKA


Dr. A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Jakarta
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia
H.A. Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung
Michael Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius press.yogyakarta

[1] Michael Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius press.yogyakarta. hlm. 15
[2] Dr. A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Jakarta hlm. 84
[3] Dr. A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Jakarta hlm. 85
[4] Dr. Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha. Jakarta hlm. 18
[5] Dr. A. G. Honig Jr, Ilmu Agama, Jakarta hlm. 93-94
[6] H.A. Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung  hlm. 62
[7] Michael Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius press.yogyakarta. hlm. 15
[8] Michael Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius press.yogyakarta. hlm. 15
[9] H.A. Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung  hlm.63
[10] H.A. Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung  hlm.63
[11] H.A. Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung  hlm.63
[12] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta:  IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988, hlm.65
[13] Mukti Ali, Op.Cit,. hlm. 65
[14] Mukti Ali, Op.Cit,. hlm. 65
[15] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 2008,  hlm. 20
[16] Harun Hadiwijono, Op.Cit,. hlm.20
[17] Ibid,. hlm. 20



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIDEO PERSAHABATAN

JUDUL         : Video Foto Kegiatan di Pura KARYA         : Ikhwatun Muamalah EDITOR       : Ahmad Nasichin Hudori DURASI       : ...